Thank you!

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type ...

Minimal Design

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type ...

Download high quality wordpress themes at top-wordpress.net

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type ...

Easy to use theme’s admin panel

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type ...

Prev Next

Archive for Januari 2011

A Post Without Image

KETERBACAAN WACANA PADA BUKU TEKS BINA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNTUK SEKOLAH DASAR KELAS IV

Abstrak
Salah satu faktor yang menyebabkan keengganan membaca adalah faktor keterbacaan wacana. Apabila sebuah wacana memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi maka wacana tersebut mudah dipahami oleh pembacanya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat keterbacaan sebuah wacana, semakin sulit pula dipahami oleh pembacanya. Tinggi rendahnya tingkat keterbacaan sebuah wacana berpengaruh terhadap minat baca pembacanya. Dalam upaya mempertahankan dan membangkitkan minat baca murid, faktor keterbacaan wacana hendaknya menjadi perhatian para guru di sekolah dalam menyajikan materi ajar membaca. Aspek yang diteliti adalah keterbacaan wacana dengan menggunakan Prosedur Cloze. Enam wacana yang ada dalam buku teks Bina Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Sekolah Dasar kelas IV, diteskan kepada 38 murid kelas IV SD Negeri 15 Baruga. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata hitung (X) yang diperoleh responden pada keenam wacana yang dirumpangkan adalah 29,2 (59%). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keenam wacana tersebut tergolong wacana sedang karena pembacanya berada pada kategori tingkat baca instruksional, yaitu antara 41% - 60%.


Kata-kata kunci: keterbacaan, wacana, Prosedur Cloze, isian rumpang, independen (mandiri), instruksional, frustrasi (gagal), Bina Bahasa dan Sastra Indonesia


A. PENDAHULUAN
Penyebaran informasi melalui media cetak dewasa ini makin mendapat perhatian, baik dari kalangan masyarakat intelektual maupun dari kalangan masyarakat biasa. Kemampuan memperoleh informasi melalui media cetak semakin penting karena media cetak adalah salah satu cara untuk mencapai masyarakat yang maju.
Penilaian buku teks cukup penting dilaksanakan sebelum buku teks tersebut digunakan sebagai alat pembelajaran. Buku teks disusun berdasarkan kurikulum yang berlaku serta dengan memperhatikan dan memenuhi tuntutan mata pelajaran atau ilmu yang relevan. Buku teks yang berkualitas akan digunakan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan dalam proses belajar-mengajar. Jadi, buku teks adalah salah satu jenis buku yang paling penting dan fungsional bagi siswa di sekolah. Untuk itu, fungsi buku teks adalah selain sebagai wahana penunjang dan pelaksanaan kurikulum, juga sebagai sumber informasi penyebar ilmu atau memasyarakatkan ilmu.
Suatu teks yang tidak dipersiapkan dengan matang sering meyulitkan murid untuk memahaminya. Agar buku teks memenuhi syarat dan tujuan yang diharapkan, tingkat keterbacaannya harus sesuai dengan tingkat kemampuan murid. Kesesuaian tingkat keterbacaan suatu buku teks sangat penting karena hal itu akan sangat berpengaruh terhadap motivasi dan minat murid untuk membaca. Antara minat baca dan keterbacaan wacana terdapat hubungan timbal-balik. Ketiadaan minat baca menyebabkan keengganan membaca bagi pembaca.
Salah satu faktor yang menyebabkan keengganan membaca itu adalah faktor keterbacaan wacana. Apabila sebuah wacana memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi maka wacana tersebut mudah dipahami oleh pembacanya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat keterbacaan sebuah wacana, semakin sulit pula dipahami oleh pembacanya. Tinggi rendahnya tingkat keterbacaan sebuah wacana berpengaruh terhadap minat baca pembacanya. Dalam upaya mempertahankan dan membangkitkan minat baca murid, faktor keterbacaan wacana hendaknya menjadi perhatian para guru di sekolah dalam menyajikan materi ajar membaca.
Guru-guru dipandang perlu untuk memiliki kemahiran dalam memperkirakan tingkat kesulitan materi, sebab bagaimanapun salah satu faktor pendukung keberhasilan belajar anak adalah tersedianya sumber ilmu yang dapat diperoleh dan dicerna anak dengan mudah. Salah satu cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan adalah melalui kegiatan membaca.
Sehubungan dengan itu, bahan ajar untuk sekolah dasar (SD) hendaknya memperhatikan aspek-aspek keterbacaan itu. Menurut Harjasujana dan Misdan (Suladi dkk., 2000: 4), tingkat keterbacaan buku ajar SD pada umumnya terlampau sukar sehingga hanya sebagian kecil siswa SD yang mampu memahami isinya. Hal itu terjadi karena penyusunan buku ajar itu tidak memperhitungkan tingkat keterbacaannya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis terdorong untuk melakukan penelitian dan pengkajian keterbacaan wacana. Penelitian ini akan dibatasi pada keterbacaan wacana pada buku teks Bina Bahasa dan Sastra Indonesia untuk sekolah dasar kelas 4, yang ditulis oleh Aswan dkk., tahun 2004. Penelitian tentang keterbacaan ini sangat perlu dilakukan agar materi pelajaran yang disajikan sesuai dengan kemampuan murid.
Dalam penelitian ini akan digunakan akan digunakan teknik cloze (teknik rumpang) untuk mengetahui apakah wacana yang terdapat dalam buku teks Bina Bahasa dan Sastra Indonesia untuk sekolah dasar kelas 4 dapat dijawab dengan baik oleh murid. Dipilihnya prosedur cloze ini berdasarkan pertimbangan bahwa prosedur cloze, selain dapat dipakai untuk mengukur keterbacaan wacana (sesuai tidaknya wacana dengan tingkat pembaca), juga dapat dipakai untuk mengukur peringkat baca pembaca. Yakni, apakah pembaca berada pada peringkat baca independen, instruksional, atau frustasi.
Adapun kriteria pembuatan tes cloze yaitu sebagai berikut:
1) Pilih wacana yang relatif sempurna dalam arti tidak bergantung pada infrmasi sebelumnya (lebih kurang 250 kata).
2) Hilangkan kata-kata ke-n atau kata tertentu. Kalimat awal dan kalimat akhir tetap utuh.
3) Ganti kata yang telah dihilangkan dengan garis datar yang sama panjangnya.



Langkah-Langkah Pemberian Tes Cloze
Pemberian tes klos dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini.
Langkah 1
Berikan kesempatan kepada siswa untuk menelaah dan membaca dalam hati wacana yang diberikan berdasarkan ketentuan waktu yang telah ditetapkan. Jika dalam upaya pengisian lesapan siswa berdiskusi antara sesama teman, biarkan mereka melakukannya. Namun, jangan sampai mereka menyontek pekerjaan temannya.

Langkah 2
Setelah kegiatan baca senyap dan kegiatan mengisi lesapan oleh siswa dianggap cukup, guru menyuruh 3 – 4 orang siswa membacakan hasil lesapan yang telah mereka sempurnakan. Kemudian, guru memberikan komentar secara umum terhadap hasil kerja siswa.
Langkah 3
Guru membacakan bagian demi bagian dari wacana tersebut dan berhenti pada setiap bagian yang dikosongkan. Salah seorang siswa diminta untuk mengajukan alternatif jawaban tersebut di papan tulis. Guru meminta siswa tersebut untuk menuliskan kata-kata jawaban di papan tulis. Kemudian, mendiskusikan setiap alternatif jawaban itu disertai alasan-alasannya sampai pada keputusan yang disepakati bersama.


Langkah 4
Teruskan kegiatan seperti pada langkah tiga di atas, sampai pada semua bagian wacana yang dikosongkan itu terisi. Suruh 1 – 2 siswa untuk membacakan wacana yang telah disempurnakan berdasarkan kesepakatan kelompok tersebut.
Langkah 5
Jika kegiatan pada langkah empat dianggap selesai, perlihatkanlah teks aslinya sebagai bahan perbandingan bagi siswa.
Langkah 6
Selanjutnya, untuk mengetahui kemampuan hasil uji klos siswa secara individu, guru menyuruh siswa untuk menghitung berapa banyak jumlah lesapan yang dianggap benar/cocok sesuai dengan konteks kalimat. Hal ini (kunci jawaban berikut alternatif-alternatifnya) telah didiskusikan pada langkah sebelumnya. Untuk menjamin kejujuran mereka, suruhlah mereka untuk mempertukarkan pekerjaan mereka dengan teman sebangkunya. Setelah itu, mereka menghitung persentase kebenaran jawaban dengan rumus yang ditetapkan, yaitu:
Jumlah jawaban benar
x 100%
Jumlah sekuruh lesapan

(Harjasujana dan Yeti Mulyati, 1996: 155 -156).

Prosedur penilaian
Penilaian untuk alat ukur dilakukan pada jawaban yang sama dengan kata pada wacana. Adapun sebagai alat ajar, penilaian dilakukan dengan jawaban yang hampir sama dengan kata pada wacana.
Kriteria penilaian adalah seperti berikut ini.
1. Pembaca berada pada tingkat independen jika memperoleh skor di atas 60%.
2. Pembaca berada pada tingkat instruksional jika memperoleh skor antara 41% - 60%.
3. Pembaca berada pada tingkat frustrasi atau gagal jika persentasi skor kurang dari 40% (Rankin dan Culhane dalam Kamidjan, 1996: 71).

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif. Data dalam penelitian ini adalah data tertulis, yakni berupa 6 teks wacana yang terdiri atas 3 wacana fiksi dan 3 wacana nonfiksi. Selanjutnya, keenam wacana tersebut akan diteskan kepada 38 orang murid kelas IV SD Negeri 15 Baruga. Adapun judul-judul wacana yang dijadikan sebagai data adalah sebagai berikut: (1) Maya akan Tetap Sayang; (2) Caln Raja Hutan; (3) Semangat yang Tak Pernah Pudar; (4) Mari Kita Menabung; (5) Upacara Bendera; dan (6) Kincir Air Kakek.
Sumber data dalam penelitian ini adalah buku teks yang berjudul: Bina Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas 4, yang ditulis oleh Aswan dkk. dan diterbitkan oleh Erlangga, Tahun 2004.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik observasi dan tes. Yaitu pengamatan langsung pada data wacana yang akan dijadikan bahan penelitian dan teks wacana yang disediakan dalam bentuk tes cloze, diteskan kepada 38 murid kelas IV SD Negeri 15 Baruga.
Data yang terkumpul dari hasil tes cloze akan dideskripsikan dengan teknik tabulasi dan persentase. Tabulasi digunakan untuk mendeskripsikan gejala-gejala yang dinilai dalam penelitian. Frekuensi ini dapat diketahui melalui persentase individu yang muncul secara kelompok dalam ketentuan hasil jawaban isian rumpang yang telah ditetapkan.

A Post Without Image

SEANDAINYA SASTRA ITU BUKAN APA

OLEH : SRI SURYANA DINAR

Pembuka

Di Buton (mungkin juga di daerah lain), ada kisah tentang Wandiu-diu. Satu cerita tentang seorang ibu yang – setelah dianiaya sang suami – kemudian menjelma ikan duyun dan dirindui anak-anaknya. Tidak cukup hadir sebagi cerita, para orang tua pun berinisiatif membuat syair tentang kisah ini. Syair itu kemudian dinyanyikan secara turun temurun dan diamini sebagai kepiluan yang dalam dari duka seorang anak yang ditinggalkan.
Kisah di atas adalah satu lakon hidup yang dramatik. Sebuah drama yang lebih dari sekedar masalah rumah tangga. Tidak penting untuk mencari sumber dan mempertanyakan kebenaran tentang cerita tadi, namun yang paling utama adalah bagaimana cerita ini begitu membenam dalam batin generasi Buton sejak dulu. Sebuah strategi pembelajaran yang sukses di masyarakat dan dapat dijadikan referensi untuk kita saat ini.

Apresiasi Sastra

Inti pembelajaran sastra adalah apresiasi. Masalah apresiasi sastra banyak dilakukan orang untuk memahami atau menghargai karya sastra. Apresiasi sastra sesungguhnya tidak bekerja dengan rumus-rumus, pola-pola kaidah dan perangkat hukum yang ketat. Tanpa perangkat itu apresiasi sastra dapat bekerja.. Meskipun demikian perlu disadari dan diakui bahwa rumus, pola-pola dan kaidah serta perangkat hukum dapat membantu dalam apresiasi apresiasi sastra. Tentu saja hal ini bersifat sekunder. Mengapa? Sifat primer dalam apresiasi sastra mencakup kesiapan dan keterbukaan kalbu, keadaan cita rasa, kualitas emosi, nurani, ketulusan jiwa, daya, dan ketajaman budi.
Dengan mengapresiasi sastra niscaya seseorang mampu mendedah berempati terhadap fenomena sastra. Selanjutnya, dalam diri manusia akan tumbuh dan berkembang kepedulian, kepekaan ketajaman, kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra. Demikian pula karya sastra akan dapat tumbuh dan berkembang dan terpelihara dengan baik Di sinilah terjadi hubungan dialektis antara karya sastra dan manusia selaku pengapresiasi sastra.
Kita sama menyadari bahwa salah satu tujuan kehadiran sastra di tengah-tengah masyarakat pembaca adalah berupaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya, berpikir dan berketuhanan. Karya sastra selalu mengungkapkan hal-hal yang dipikirkan pengarang sebagai refleksi pengarang atas realita kehidupan yang dilihat, dibaca, didengar, atau dialami.Konsep apresiasi sastra inilah yang dapat dikembangkan untuk diterapkan pada pengajaran sastra di sekolah.

Belajar dari Cerita
Belajar melalui cerita dianggap berhasil oleh orang tua-tua terdahulu. Itulah yang menyebabkan kenapa sastra lisan begitu kuat pengaruhnya dalam hidup masyarakat. Cerita (yang dilisankan) memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh kekuatan tulisan. Betapapun detailnya sebuah tulisan dirunutkan namun ia tidak sedetail cerita. Mungkin ini pula yang menyebabkan Socrates menghendaki proses belajar yang menitikberatkan pada dialog interpersonal. Menurutnya dialog interpersonal itu yang hanya dapat dicapai melalui tradisi lisan. Ruang itulah yang dituntutnya. Sebab bagi Sokrates dialog interpersonal adalah penyambung rasa kemanusiaan.

Lantas bagaimana mentransformasikan pengalaman dari cerita di atas ke dalam pembelajaran sastra saat ini? Guru yang kreatif akan tahu apa yang harus dilakukan dalam menanggapi keragaman siswa dari berbagai karakter dan pemikiran.

Penutup

Kisah Wandiu-diu adalah fiksi. Karena ia fiksi, maka karya sastra adalah karya imajiner. Oleh karena itu, tidak salah pula jika orang beranggapan bahwa bergelut di dunia sastra tidak lain bergelut di dunia khayalan. Namun, tidak dapat dibenarkan jika orang beranggapan bahwa karya sastra tidak berguna bagi kehidupan manusia. Manusia tidak bisa hidup secara sempurna jika tidak berkhayal atau berimajinasi. Justru adanya daya khayal atau imajinasi inilah menyebabkan manusia berjuang untuk mempertahankan hidup dan memperbaiki kehidupannya.

Manusia memiliki idealisme untuk berjuang mencapai kesempurnaan, karena adanya tegangan antara yang ada dan yang tiada. Segala sesuatu yang ada di dunia ini sebenarnya maya sebagai bayangan dari sesungguhnya. Karya sastralah yang mampu menjebatani tegangan antara yang ada dengan yang tiada itu. Kematian daya khayal dengan penjejalan teknologi siap pakai akan mendorong kematian daya kreasi manusia.. Segala keenakan yang tinggal menikmatinya bisa meninabobokan di dalam kelelapan menuju kematian daya kreativitas ke dalam dunia nyata sesungguhnya. Penghasil teknologi bekerja keras yang didahului oleh imajinasi. Konsumen teknologi adalah penikmat yang lelap dan terlelapkan daya kreasinya. Setiap karya sastra ditulis oleh seorang manusia pada suatu masa dalam sejarah di suatu tempat di dunia ini juga. Sastra lahir dalam kekinian dan kedisnian yang kongkret. Sastra bukanlah produk dari dirinya sendiri, tetapi merupakan produk sejarah. Sastra bukanlah semata-mata merefleksikan apa yang ada dalam masyarakat. Akan tetapi lebih dari itu, sastra adalah institusi sosial yang merupakan bagian integral dari suatu masyarakat, seperti halnya institusi-institusi sosial lainnya. Demikianlah karya sastra Indonesia merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia.
Inti tulisan ini adalah sebuah penegasan bahwa sastra menjelaskan tentang sikap pendidikan. Ia menawarkan beragam jalan menuju sikap kemanusiaan. Mari kita belajar dari hal-hal yang selama ini kita anggap kecil.